Selasa, 23 Juni 2020

Gereja, Politik, Demokrasi dan Pilkada 2020

Oleh: Meidy Y. Tinangon

Gereja, demokrasi, dan politik dalam konsepsi sebagian orang, bagaikan dua hal yang kontradiktif atau berlawanan. Gereja dianggap sebagai “wilayah putih”, rohani, suci, dan privat. Sedangkan demokrasi dan politik dianggap sebagai “wilayah hitam”, duniawi, dan publik.  Dengan pandangan ini, maka sebagian orang menganggap Gereja tidak boleh bicara tentang politik, apalagi berpolitik. Padahal pada kenyataannya Gereja dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. 

Dalam konteks ke-Indonesiaan atau konteks berbangsa dan bernegara, Gereja baik dalam pengertian institusi ataupun umat/orang dan lembaga demokrasi/politik berada dalam lokus dan konteks sosial yang sama, dan dengan demikian tidak bisa mengelak dari persinggungan/pertemuan peran. 

Gereja tidak berada di dunia yang lain dengan demokrasi dan politik. Gereja Indonesia ada dalam dunia yang sama, di negara Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi. Gereja ada dalam proses demokratisasi politik di negara Indonesia, sekalipun demikian gereja bukan Partai Politik. Gereja hadir dalam konteks demokrasi Indonesia dengan perannya sendiri. Setiap institusi demokrasi punya peran masing-masing dalam proses demokratisasi atau perwujudan sebuah sistem pemerintahan yang mengutamakan kedaulatan rakyat. 


Pemilu dan Pilkada merupakan salah satu sarana perwujudan demokrasi yang menuntut partisipasi politik warga negara yang notabene sebagian diantaranya adalah warga gereja. Gereja punya tanggung jawab membentuk perilaku-perilaku etis warga Gereja dalam praktek di berbagai bidang termasuk dalam praktek politik. Dengan pemetaan posisi ini, otomatis Gereja tidak bisa mengelak dari hiruk pikuk politik-demokrasi khususnya dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah. 

Mengapa dan bagaimana sikap politik gereja dalam konteks politik saat ini yaitu dalam konteks Pilkada 2020? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita mendapatkan gambaran singkat tentang gereja, demokrasi, politik dan Partisipasi Politik. 

a. Gereja (dan warga gereja) 
Umumnya kita mendefinisikan gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Dalam Alkitab gambaran yang tentang Gereja dapat dilihat misalnya dalam I Petrus 2 :9 : “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, immamat yang rajani, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”

Jadi, gereja adalah persekutuan umat yang percaya kepada Tuhan yang telah dipanggil untuk keluar dari gelap menuju terang. Hal mana juga merupakan peringatan bahwa dunia yang kita diami adalah dunia yang gelap. 

Dalam praktek, istilah gereja sering diartikan sebagai gedung gereja, institusi gereja atau dalam pengertian umat/warga gereja. Untuknya dalam uraian singkat ini, akan digunakan istilah “gereja” yang menunjuk pada institusi dan “warga gereja” yang menunjuk pada umat. 

b. Politik 
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu (Budiardjo, 2007, Dasar-dasar Ilmu Politik). 

Konsep-konsep pokok dalam politik yaitu: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, beleid), pembagian (distribution) atau alokasi (alloccation)

Untuk turut serta menentukan kebijakan-kebijakan politik, struktur politik negara, mendapatkan kekuasaan, dalam sistem politik kita, diperlukan Partai Politik. Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang angota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan – kebijaksanaan mereka. 

Menurut UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Menurut pasal 11 ayat 1 UU No 2 tahun 2008 , fungsi Parpol adalah sebagai sarana: 
    1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 
    2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; 
    3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; 
    4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan 
    5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender; 

c. Demokrasi 
Demokrasi umumnya didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat atau pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Menurut Henry B. Mayo, dalam bukunya Introduction to Democratic Theory dalam Mahfud, MD, 2017, Penataan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia, sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 

d. Partisipasi Politik 
Partisipasi politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. 

Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi : 
1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat. 

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Serentak Tahun 2020, ada banyak pilihan bentuk partisipasi politik warga gereja atau institusi gereja dalam mewujudkan partisipasi politiknya. Institusi Gereja dapat berperan dalam sosialisais dan pendidikan politik sesuai dengan kaidah etika dan moralitas. Warga gereja sebagai warga negara yang dijamin hak-hak politiknya, tentu juga punya kebebasan menentukan bentuk partisipasi politik.

Memilih cara partisipasi politik, tentu saja menjadi kewenangan institusi gereja. Tentu saja posisi gereja tidak sama dengan Partai Politik. Selain memilih bentuk-bentuk partisipasi sebagaimana ditawarkan oleh Undang-undang dan Peraturan KPU, gereja dan warga gereja juga diharapkan menjadi pelopor terwujudnya demokrasi yang substansial bercirikan kebenaran, keadilan dan kejujuran sebagaimana dogma sosial gereja. 

Gereja dituntut untuk menerangi dan menggarami proses demokratisasi dalam Pilkada 2020 menuju demokrasi prosedural yang substansial. Berbagai tantangan-tantangan kepemiluan dewasa ini hendaknya menjadi perhatian gereja sebagai benteng moral bangsa. 

Warga gereja seyogyanya (meminjam istilah Johanes Leimena, seorang tokoh gereja dan tokoh bangsa) mewujudkan “kewarganegaraan yang bertanggung jawab” dalam konteks dwi kewargaan, yaitu warga gereja sekaligus sebagai warga negara. 

Tantangan-tantangan demokrasi dan kepemiluan yang perlu mendapat perhatian adalah: politik transaksional (money politics), hoax dan ujaran kebencian (hate speech) dan politik SARA. Gereja diharapkan dapat mendorong perilaku politik yang beretika dan sesuai dengan konstitusi sebagaimana konsep demokrasi konstitusional dalam negara hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Akhirnya, melalui catatan singkat ini kiranya akan merangsang pemikiran yang kreatif-konstruktif sebuah gereja bangsa, gereja yang diutus menerangi bangsa Indonesia, untuk merumuskan partisipasi politik institusi gereja  dan warga gereja dalam mewujudkan Pilkada 2020 yang demokratis, LUBER dan Jurdil. 

Mewujudkan damai sejahtera Allah (Syaloom) dalam konteks dinamika politik Pilkada 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.