Selasa, 28 April 2020

Penyelenggara Pemilu: "Pahlawankah?"

Sebuah Refleksi Pengalaman Penyelenggara Pemilu

Oleh: Refly Repi

Berbagai perubahan kebijakan demokratisasi terus bergulir sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut untuk menjalankan proses demokrasi serta untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan manusia Indonesia dan tentu saja untuk mewujudkan proses demokrasi yang sesuai dengan kehendak rakayat, sebagaimana substansi demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, yang diselenggarakan berdasarkan situasi dan kondisi Bangsa Indonesia.

Warna-warni Pengalaman Penyelenggara Pemilu

Sebuah Pembelajaran untuk Pengembangan Diri dan Demokrasi Indonesia  

Oleh: Reza Yofan Rumbajan

Jika ditanya kesan pertama ketika menjadi penyelenggara Pemilu, maka jawaban saya adalah rasa syukur. Menjadi penyelenggara Pemilu, meskipun hanya di tingkat kecamatan, tetaplah merupakan sebuah kepercayaan yang patut disyukuri. Karenanya saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perkenananNya, juga berterimakasih untuk doa dan dukungan kerabat, teman dan saudara, yang akhirnya mengantarkan saya hingga boleh bergabung dengan keluarga besar penyelenggara Pemilu Indonesia, khususnya di Kabupaten Minahasa dalam Pilkada 2018, Pemilu 2019 dan Pilkada 2020.


Aktivitas saya di dunia kepemiluan, sebenarnya berawal dari organisasi pemantau Pemilu. Saat itu, Tahun 2004, saya dipercayakan sebagai Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Kabupaten Minahasa. Kala itu, saya masih duduk di bangku kuliah menunggu ujian skripsi, kemudian mendapat tawaran berpartisipasi dalam mengawal Pemilu. Hmm,  sayang untuk dilewatkan. Karena keterlibatan awal di organisasi pemantau Pemilu inilah kemudian saya termotivasi menjadi penyelenggara Pemilu.

Selasa, 21 April 2020

Memutus Rantai Politik Uang


Pembelajaran Berharga dari Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe  2017

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon  

Sepanjang 13 tahun penyelenggaraan Pilkada (2005-2018) telah banyak upaya-upaya pembenahan yang dilakukan, namun demikian evaluasi dan rekonstruksi sistem dan praksis Pilkada perlu terus dilakukan. Evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung perlu dilakukan terus menerus (re-evaluasi) agar supaya substansi demokrasi yang dikehendaki Bersama sesuai konstitusi bangsa ini bisa tercapai. 

Ketentuan Pidana Politik Uang dalam Pilkada

sumber: pilkada.rakyatku.com
Regulasi yang mengatur penyelenggaraan Pilkada, semakin hari semakin lengkap mengatur tentang pencegahan, larangan dan sanksi bahkan mekanisme pelaporan dan penanganan politik uang. 

Ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 berikut perubahannya UU Nomor 8 Tahun 2016 dan 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang politik uang adalah:


Jumat, 17 April 2020

Menimbang Pilkada Alternatif, Mengevaluasi Pilkada Langsung

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon

1. Introduksi
Sekitar Tahun 2003, disaat masih aktif dalam Organisasi Kemasyarakatan Pemuda saya dan beberapa kawan aktivis yang terhimpun dalam delegasi KNPI Kabupaten Minahasa menemui Ketua DPR-RI, Akbar Tandjung di Kantor DPR/MPR Jakarta dan menyampaikan aspirasi yang dihimpun lewat proses diskursus publik, yang menghendaki agar pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, dimana masyarakat dapat memilih Kepala Daerah secara langsung lewat pemilihan yang LUBER.

Alasan kami menyampaikan aspirasi Pilkada Langsung, didasari pada dua hal: 

Pertama, adanya problematika praktek politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD. Kami sempat melakukan aksi dan menerobos ruang sidang Paripurna DPRD untuk memprotes “aroma“ politik uang saat Pilkada Gubernur Sulut Tahun 2000. Harapan kami di kala itu, Pilkada Langsung akan meminimalisir praktek politik uang.
Kedua, Suara (vote) para legislator dianggap tidak mewakili kehendak rakyat secara utuh, padahal mereka bertugas untuk menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, termasuk aspirasi rakyat untuk memilih pemimpin yang diharapkan rakyat.

"Sepanjang 13 tahun penyelenggaraan Pilkada (2005-2018) telah banyak upaya-upaya pembenahan yang dilakukan, namun demikian evaluasi dan rekonstruksi sistem dan praksis Pilkada perlu terus dilakukan. Evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung perlu dilakukan terus menerus (re-evaluasi) agar supaya substansi demokrasi yang dikehendaki bersama sesuai konstitusi bangsa ini bisa tercapai"

2. Lika-Liku Pilkada Langsung

Tahun 2004, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5) menyebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. 

Regulasi ini menjadi dasar hukum pelaksanaan Pilkada Langsung oleh Rakyat, yang untuk teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bulan Juni Tahun 2005, Pilkada langsung mulai digelar dengan peserta dari calon yang diajukan Parpol atau Gabungan Parpol. Tahun 2008, peserta Pilkada bisa dari calon perseorangan berdasarkan UU 12 Tahun 2008 tentang perubahan UU 32 Tahun 2005.

Pada tahun 2007, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Namun Tahun 2011, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Wacana mengembalikan Pilkada lewat proses pemilihan di DPRD sempat disahkan oleh DPR-RI dalam penetapan UU tentang Pemerintahan Daerah. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.

Hal tersebut tertuang dalam UU 22 Tahun 2014 yang kemudian “dikoreksi” Pemerintah dengan Perppu Nomor 1 tahun 2014, dengan dasar pertimbangan diantaranya bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Perppu Nomor 1 Tahun 2014 kemudian disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur Pilkada Serentak serta perbaikan beberapa mekanisme teknis penyelenggaraan. Perbaikan-perbaikan juga Nampak dari dua kali perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 yaitu UU 8 Tahun 2015 dan UU 10 Tahun 2016.

3. Problematika Politik Uang: Kesenjangan Antara Harapan Pilkada Bermartabat dan Fakta Pragmatisme Politik
Sepanjang 13 tahun penyelenggaraan Pilkada, sekalipun pembenahan-pembenahan substantif maupun teknis-prosedural telah dilakukan dengan instrument pembenahan regulasi, namun problematika yang dihadapi terus terjadi. Diantara masalah yang masih muncul dan dianggap belum tertanggulangi adalah Politik Uang / Money Politics (dan mahar politik). Problematika tersebut tentu saja menjauhkan kita dari harapan pergerakan progresif dari demokrasi elektoral prosedural menuju pencapaian demokrasi electoral prosedural yang substantial yaitu demokrasi yang sarat nilai luhur keadilan, kebenaran, transparansi dan kejujuran.

Pertanyaannya, apakah problematika poltik uang disebabkan oleh pilkada yang bersifat langsung ataukah kegagalan sistem Pilkada langsung ataukah ada faktor lain ?

· Analisis 1: Faktor Pilkada Yang Bersifat Langsung

Apakah Pilkada yang bersifat langsung merupakan penyebab politik uang ? Bahwa Pilkada dalam bentuk apapun pada kenyataannya tak luput dari potensi politik uang adalah tak bisa terbantahkan. Fakta membuktikan Pilkada Langsung dan Tidak Langsung bahkan Penentuan Kepemimpinan tanpa Pilkada, misalnya melalui penunjukan tetap berpotensi terjadinya politik uang. Namun penyebab politik uang bukan sifat Pilkada itu sendiri tetapi oleh aktor atau pelakunya. Setiap aktivitas yang bermuatan kepentingan rentan dengan potensi politik uang. Sifat Pilkada baik langsung ataupun tidak tetap rentan dengan politik uang.

Ibarat memburu tikus dalam lumbung padi, praktek politik uang adalah tikus dan Pilkada adalah lumbung sedangkan padi dalam lumbung adalah demokrasi substansial, maka janganlah memburu tikus dalam lumbung, kemudian lumbung kita bakar dan akhirnya padi pun lenyap. Lumbung tak bisa disalahkan karena lumbung sifatnya dependent (tergantung) pada pengelolah dan faktor eksternal. “Pengelolah lumbung” adalah KPU-Bawaslu-DKPP sebagai kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu.

Namun demikian, pengelolah lumbung, misalnya KPU hanya melaksanakan “sistem konstruksi utama” yaitu Undang-undang yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Artinya, KPU hanya bisa melaksanakan tugas mengelola lumbung termasuk “menambal” bagian lumbung yang bolong untuk mencegah tikus masuk lumbung atau mengusir tikus dalam lumbung. Upaya menambal itupun dibatasi sesuai kewenangan yang diatur sistem.

Dengan demikian, menurut hemat saya, Pilkada secara langsung tidak bersalah dan bukan penyebab praktik politik uang. Kalau demikian, apakah sistem Pilkada Langsung ?

· Analisis 2: Faktor Sistem Pilkada Langsung

Sistem Pilkada Langsung tergambar lewat pengaturan dalam perangkat peraturan perundang-undangan. Sistem regulasi yang ada semakin hari semakin lengkap mengatur tentang pencegahan, larangan dan sanksi bahkan mekanisme pelaporan dan penanganan politik uang. Ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 berikut perubahannya UU Nomor 8 Tahun 2016 dan 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang politik uang adalah:

             I.  Pasal 47 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6):

Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;

Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama; 
Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Penjelasan: Yang dimaksud dengan “orang” termasuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, atau Calon Wakil Walikota.

Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan poe calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan.

Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

II. Pasal 73 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5):

(1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”. Penjelasannya: Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.
(2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan poe calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan.
(4) Selain Calon atau Pasangan poe calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.”
(5) Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.

III. Pasal 178A ayat (1), dan (2):
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

IV. Pasal 187B: Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

V. Pasal 187C: “Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat sistem regulasi dalam hal ini Undang -undang telah menegaskan larangan menjanjikan, memberikan dan menerima imbalan / barang atau uang dalam konteks penyelenggaran Pilkada sejak pencalonan sampai pemungutan suara. Larangan dan sanksi telah jelas, tetapi mengapa masih ada praktek politik uang ? 

Praktek mahar politik dalam pencalonan telah dilarang dan ditegaskan sanksinya. Menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya untuk memilih atau tidak memilih atau membuat suara menjadi tidak sah juga telah diatur Undang-undang. Apakah sistem regulasi Pilkada Langsung masih memiliki kekurangan ?

· Faktor Lain ?
Jika sistem telah dianggap baik, tetapi praktik politik uang masih bisa terjadi maka, yang salah bukan sistem tetapi aktor politik uang atau aparatur penyelenggara dan pemilih yang melakukan pembiaran. Sehingga perlu kiranya dilakukan solusi alternative dengan pendekatan aktor

4. Rekomendasi Pemikiran: Pilkada Alternatif dengan Reformasi Sistem Pilkada 

Menurut hemat penulis Pilkada Alternatif tak harus mengalihkan sistem Pilkada Langsung ke Pilkada Tidak Langsung. Pilkada langsung masih menjadi pilihan dan kalau kita mau bicara tentang Pilkada Alternatif, maka pilihan-pilihan alternatif adalah pada upaya pembenahan pelaksanaan Pilkada kaitannya dengan pencegahan politik uang. 

Beberapa rekomendasi terkait hal tersebut terutama pada penataan kembali regulasi, dimana regulasi perlu mengatur: 

a. Sistem pencalonan bebas mahar. Melarang mahar, tidak cukup ! Harus diatur bagaimana sistem rekrutmen calon yang menutup peluang mahar. Misalnya dengan melegalkan biaya pendaftaran calon yang disetor ke rekening Parpol saat pendaftran terbuka di Partai Politik (bukan unsur memperkaya diri pribadi), dan biaya pendaftaran tersebut dibatasi untuk mengurangi high cost politics. Tim Pendaftaran Parpol dibolehkan menerima honorarium dengan pembatasan.

b. Memberikan kewenangan kepada KPK, Kepolisian, Kejaksaan, untuk membantu tugas Bawaslu dalam pengawasan dan penindakan politik uang dengan membentuk “Satgas Anti Politik Uang”. Satgas bisa merekrut aparat / relawan ad hoc di setiap desa / kelurahan yang akan berpatroli mengawasi gerak gerik Tim Kampanye atau setiap orang yang teridentifikasi potensial pelaku politik uang. 

c. Untuk efisiensi maka masa kampanye diperpendek. Hal ini akan menuntut Parpol menyiapkan calon yang memang telah dikenal masyarakat, bukan nanti dipaksakan elektabilitasnya lewat kampanye yang high cost atau dengan membayar suara pemilih.

d. Pengaturan perlindungan identitas pelapor politik uang.

Beberapa solusi alternatif dengan pendekatan aktor / pelaku Pilkada:
a. Peserta Pilkada/Parpol/Tim Kampanye. Perlu dilakukan pengawasan terhadap gerak gerik calon dan tim kampanye serta penegakan hukum yang lebih baik;
b. Pemilih. Perlu dilakukan gerakan Pendidikan politik Anti Politik uang kepada masyarakat oleh penyelenggara. Di setiap desa dan komunitas dibentuk kelompok masyarakat anti politik uang.
c. Penyelenggara. KPU perlu mengefektifkan Pendidikan politik dan sosialisasi dan bagi Bawaslu perlu meningkatkan pencegahan serta pengawasannya.

Demikian catatan singkat ini, kiranya bermanfaat untuk demokrasi bermartabat, Pilkada tanpa politik uang. Semoga.....

Salam Demokrasi,
berani Jujur, hebat !!!



* Artikel ini merupakan makalah yang disampaikan Penulis dalam Focus Group Disscussion (FGD) “PILKADA ALTERNATIF: Mengkaji Kembali Pilkada Langsung di Indonesiayang dilaksanakan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Manado 27 September 2018

Penulis, Komisioner KPU Sulawesi Utara, Divisi Hukum dan Pengawasan

Rabu, 15 April 2020

Pemilu Konkuren dan Asa Konstitusi

Pemilu 2019, telah sukses digelar 17 April 2019 mencatatkan sejarah sebagai Pemilu Serentak (Pemilu Konkuren) pertama sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia. Harapan-harapan bangsa terhadap Pemilu yang ideal, coba dijawab oleh pembuat regulasi dengan menghadirkan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum sebagai landasan hukum Pemilu serentak Tahun 2019, sekaligus landasan perubahan menuju terpuaskannya harapan ideal terhadap Pemilu Indonesia. Undang-undang dimaksud, telah menggabungkan pengaturan tentang penyelenggara Pemilu, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD dan DPRD dalam satu kesatuan undang-undang yang mengatur rezim Pemilu sebagaimana dimaksud konstitusi kita khususnya Pasal 22 E UUD 1945.

Konstitusi atau hukum dasar tertulis, dalam hal ini ini Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sesungguhnya telah mengatur substansi demokrasi yang kemudian menjadi asas pelaksanaan Pemilu. Wujud demokrasi substansial telah diformat oleh penyusun konstitusi kita. Hal-hal ideal tersebut, dapat kita sebut sebagai harapan atau asa konstitusi bagi Pemilu kita.

·       Pemilu Konkuren

Geys sebagaimana dikutip Haris, dkk., (2014) dalam Solihah (2018) menyebutkan bahwa secara umum, pemilu serentak atau lazim juga disebut sebagai pemilu konkuren (concurren elections) yaitu pemilu yang diselenggarakan untuk memilih beberapa lembaga demokrasi sekaligus pada satu waktu secara bersamaan. Jenis-jenis pemilihan tersebut mencakup pemilihan eksekutif dan legislatif di beragam tingkat di negara yang bersangkutan, yang terentang dari tingkat nasional, regional, hingga pemilihan di tingkat lokal.