Selasa, 28 April 2020

Penyelenggara Pemilu: "Pahlawankah?"

Sebuah Refleksi Pengalaman Penyelenggara Pemilu

Oleh: Refly Repi

Berbagai perubahan kebijakan demokratisasi terus bergulir sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut untuk menjalankan proses demokrasi serta untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan manusia Indonesia dan tentu saja untuk mewujudkan proses demokrasi yang sesuai dengan kehendak rakayat, sebagaimana substansi demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, yang diselenggarakan berdasarkan situasi dan kondisi Bangsa Indonesia.


Berbagai cara dan upaya untuk menjalankan proses demokrasi tersebut, diantaranya adalah dengan melaksanakan wadah kedaulatan rakyat melalui bentuk demokrasi elektoral yaitu: Pemilu dan Pilkada. Pada saat ini, proses demokrasi langsung melalui Pemilu dan Pilkada menjadi pilihan yang diyakini mendapatkan hasil terbaik yang sesuai dengan hati nurani rakyat Indonesia tanpa dimanipulasi oleh kepentingan elit politik yang ada.

Tetapi, suatu proses yang di yakini memiliki resep yang mumpuni pastilah terdapat kendala yang luar biasa sulit. Berbagai masalah, kendala, dan resiko yang harus di hadapi, diantaranya pada sisi penyelenggara Pemilu itu. Seluruh elemen yang terlibat sebagai penyelenggara dituntut harus kerja ekstra,  ‘All Out’ untuk menjalankan proses demokrasi ini.

Terjadi banyak situasi yang extrim di lapangan diantaranya pada saat proses Pemilu itu sendiri. Para punggawa Pemilu harus mengeluarkan bekerja ekstra, baik pikiran maupun tenaga untuk memenuhi tenggat waktu yang terbatas dan mengadministrasikan hasil Pemilu secepatnya untuk segara diumumkan kepada publik yang sudah sangat tidak sabar menanti.

Teknologi yang canggih sudah dipakai untuk mendukung proses itu, tapi tetap harus di dukung oleh SDM yang bekerja tanpa istirahat, sehingga banyak yang harus menghadapi resiko kelelahan, sakit bahkan kematian. Hal ini di lakukan untuk memenuhi proses pemilihan langsung yang diyakini mengakomodir suara hati nurani rakyat.

Menjadi pertanyaan reflektif: apakah ini memang harus menjadi tuntutan demokrasi yang terbaik? sehingga para penyelengara Pemilu harus bekerja ekstra sampai melewati batas kemampuan?  Sementara hal itu harus dilakukan karena sudah mereka disumpah untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara Pemilu berkorban mengabdi sampai titik darah penghabisan. Berkorban untuk demokrasi. Berkorban untuk Bangsa Indonesia. Pahlawankah?
Mungkin bukan soal pahlawan atau tidak, tapi bagaimana sistem Pemilu itu juga memikirkan kemampuan manusia yang menjalankan proses Pemilu yaitu para Penyelenggara Pemilu. Perlu dipikirkan bagaimana sistem yang terbaik, termasuk jangka waktu yang paling manusiawi untuk sebuah proses pemungutan dan penghitungan suara. 

Bertepatan saat ini revisi Undang-undang Pemilu sementara berproses di DPR-RI. Kiranya para pengambil kebijakan, dalam hal ini pembuat undang-undang dapat menyeimbangkan tuntutan Pemilu LUBER, Jurdil dan Transparan dengan kemampuan manusiawi rakyat yang bertugas di TPS ataupun penyelenggara Pemilu pada umumnya.

Pahlawan demokrasi bukan nanti menjadi label saat penyelenggara meninggal dunia. Setiap kita yang berkorban waktu, tenaga, pikiran bahkan harta untuk demokrasi yang bermartabat adalah pahlawan demokrasi.

Salam Demokrasi

---------------------------------
Penulis,  Ketua PPK Kecamatan Mandolang Kab. Minahasa,  Pemilu 2014 dan Pilkada 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.