Selasa, 21 April 2020

Memutus Rantai Politik Uang


Pembelajaran Berharga dari Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe  2017

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon  

Sepanjang 13 tahun penyelenggaraan Pilkada (2005-2018) telah banyak upaya-upaya pembenahan yang dilakukan, namun demikian evaluasi dan rekonstruksi sistem dan praksis Pilkada perlu terus dilakukan. Evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung perlu dilakukan terus menerus (re-evaluasi) agar supaya substansi demokrasi yang dikehendaki Bersama sesuai konstitusi bangsa ini bisa tercapai. 



Tahun 2004, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5) menyebutkan bahwa  “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Regulasi ini menjadi dasar hukum pelaksanaan Pilkada Langsung oleh Rakyat, yang untuk teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bulan Juni Tahun 2005, Pilkada langsung mulai digelar dengan peserta dari calon yang diajukan Parpol atau Gabungan Parpol. Tahun 2008, peserta Pilkada bisa dari calon perseorangan berdasarkan UU 12 Tahun 2008 tentang perubahan UU 32 Tahun 2005.

Pada tahun 2007, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, nomenklatur Pilkada menjadi  Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Namun Tahun 2011, dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 

Wacana mengembalikan Pilkada lewat proses pemilihan di DPRD sempat disahkan oleh DPR-RI dalam penetapan UU tentang Pemerintahan Daerah. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Hal tersebut tertuang dalam UU 22 Tahun 2014 yang kemudian “dikoreksi” Pemerintah dengan Perppu Nomor 1 tahun 2014, dengan dasar pertimbangan diantaranya bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Perppu Nomor 1 Tahun 2014 kemudian disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur Pilkada Serentak serta perbaikan beberapa mekanisme teknis penyelenggaraan.  Perbaikan-perbaikan juga nampak dari dua kali perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 yaitu UU 8 Tahun 2015 dan UU 10 Tahun 2016.

  • Problematika Politik Uang: Kesenjangan Antara Harapan Pilkada Bermartabat dan  Fakta Pragmatisme Politik

Sepanjang 13 tahun penyelenggaraan Pilkada, sekalipun pembenahan-pembenahan substantif  maupun teknis-prosedural  telah dilakukan dengan instrument pembenahan regulasi, namun problematika yang dihadapi terus terjadi. Diantara masalah yang masih muncul dan dianggap belum tertanggulangi adalah Politik Uang / Money Politics (dan mahar politik).  Problematika tersebut tentu saja menjauhkan kita dari harapan pergerakan progresif dari demokrasi elektoral prosedural menuju pencapaian demokrasi electoral prosedural yang substantial yaitu demokrasi yang sarat nilai luhur keadilan, kebenaran, transparansi dan kejujuran.

Pertanyaannya, apakah problematika poltik uang disebabkan oleh pilkada yang bersifat langsung ataukah kegagalan sistem Pilkada langsung ataukah ada faktor lain ?

Apakah Pilkada yang bersifat langsung merupakan penyebab politik uang ? Bahwa Pilkada dalam bentuk apapun pada kenyataannya tak luput dari potensi politik uang adalah tak bisa terbantahkan. Fakta membuktikan Pilkada Langsung dan Tidak Langsung bahkan Penentuan Kepemimpinan tanpa Pilkada, misalnya melalui penunjukan, tetap berpotensi terjadinya politik uang. 

Penyebab politik uang bukan karena sifat Pilkada itu sendiri tetapi oleh aktor atau pelakunya dan peluang situasional. Setiap aktivitas yang bermuatan kepentingan rentan dengan potensi politik uang. Sifat Pilkada baik langsung ataupun tidak tetap rentan dengan politik uang. 

Ibarat memburu tikus dalam lumbung padi, praktek politik uang diibaratkan sebagai tikus dan Pilkada adalah lumbung sedangkan padi dalam lumbung adalah demokrasi substansial, maka janganlah memburu tikus dalam lumbung, kemudian lumbung kita bakar dan akhirnya padi pun lenyap. Lumbung tak bisa disalahkan karena lumbung sifatnya dependent (tergantung) pada pengelolah dan faktor eksternal. “Pengelolah lumbung” adalah KPU-Bawaslu-DKPP sebagai kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu. Namun demikian, pengelolah lumbung, misalnya KPU hanya melaksanakan “sistem” yang dikonstruksi Undang-undang yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Artinya, KPU hanya bisa melaksanakan tugas mengelola lumbung termasuk “menambal” bagian lumbung yang bolong untuk mencegah tikus masuk lumbung atau mengusir tikus dalam lumbung. Upaya menambal itupun dibatasi sesuai kewenangan yang diatur sistem. 

Dengan demikian, menurut hemat saya, Pilkada secara langsung tidak bersalah dan bukan penyebab praktik politik uang. Kalau demikian, apakah sistem Pilkada Langsung yang menjadi penyebab politik uang?

Sistem Pilkada Langsung tergambar lewat pengaturan dalam perangkat peraturan perundang-undangan. Sistem regulasi yang ada semakin hari semakin lengkap mengatur tentang pencegahan, larangan dan sanksi bahkan mekanisme pelaporan dan penanganan politik uang. Ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 berikut perubahannya UU Nomor 8 Tahun 2016 dan 10 Tahun 2016  mengatur tentang politik uang adalah: Pasal 47 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 73 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Pasal 178A ayat (1), dan (2), Pasal 187B, dan Pasal 187C. 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat sistem regulasi dalam hal ini Undang-undang telah menegaskan larangan menjanjikan, memberikan dan menerima imbalan / barang atau uang dalam konteks penyelenggaran Pilkada sejak pencalonan sampai pemungutan suara. Larangan dan sanksi telah jelas, tetapi mengapa masih ada praktek politik uang ?  

Praktek mahar politik dalam pencalonan telah dilarang dan ditegaskan sanksinya. Menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya untuk memilih atau tidak memilih atau membuat suara menjadi tidak sah juga telah diatur Undang-undang. Apakah sistem regulasi Pilkada Langsung masih memiliki kekurangan ?

  • Fakta dan Analisis: Faktor Penyebab Politik Uang (Studi Kasus Pilkada Sangihe 2017)

Jika sistem telah dianggap baik, tetapi praktik politik uang masih bisa terjadi maka, yang salah bukan sistem tetapi aktor politik uang atau aparatur penyelenggara dan pemilih yang melakukan pembiaran. Dalam konteks ini, Penelitian yang dilaksanakan oleh Peneliti memegang peranan yang penting. Paling tidak, kita telah mendapatkan gambaran yang jernih dan bisa dipertanggungjawabkan tentang faktor penyebab politik uang. 

Berdasarkan hasil penelitian, faktor penyebab politik uang dalam Pilkada Sangihe meliputi:
  1. Regulasi : Masih banyak celah, 
  2. Sosialisasi dan Pendidikan politik: telah dilakukan tetapi masih minim.
  3. Sikap permisif, pragmatis: “ada uang, ada suara” // “ambil uangnya jangan pilih orangnya”
  4. Masyarakat  takut, apatis menjadi whistleblower (pelapor pelanggaran), termasuk enggan menjadi saksi kasus politik uang.
  5. Naluri pembalasan: “Selesai Pilkada, perhatian calon takan ada lagi”
  6. Ketidaktegasan penyelenggara dan dugaan afiliasi penyelenggara ke Parpol serta kekurangtegasan dalam menindak pelanggaran
  7. Elit politik mengejar kemenangan dengan menghalalkan segala cara
  8. Tim Kampanye yang tidak mempunyai kompetensi mengkampanyekan calon secara positif.
  9. Track record calon yang kurang baik, sehingga menggunakan politik uang untuk meningkatkan elektabilitasnya.
  10. Pendidikan politik lemah

Catatan menarik lainnya, adalah fakta penelitian yang menyatakan bahwa: 
"politik uang, meskipun ada dalam Pilkada Sangihe namun tidak terlalu dominan atau menentukan hasil. Pihak ‘Paslon/Tim Kampanye’ yang disebut genacar melakukan politik uang ternyata kalah dalam pertarungan. Kedua, adanya gerakan massif masyarakat menolak politik uang." 
Jika ditelisik dari fakta penelitian di atas, maka faktor penyebab politik uang dapat dikategorisasi sebagai berikut:

a. Faktor Regulasi
b. Faktor Penyelenggara
c. Faktor Masyarakat / Pemilih
d. Faktor elit politik / calon / tim kampanye

Skema sebab akibat politik uang dapat digambarkan sebagai berikut:


Interest group adalah kelompok yang punya kepentingan dan karenanya menjadi pelaku politik uang. Buffer factor adalah kelompok / faktor yang memiliki kekuatan persuasive atau kekuatan memaksa sehingga bisa mencegah atau menindak politik uang, termasuk didalamnya, aspek regulasi, kondisi ekonomi, social dan budaya, penyelenggara (KPU-Bawaslu) dan Mitra penyelenggara (KPK, Polisi, kejaksaan, LSM/NGO, Perguruan Tinggi). Target Group adalah kelompok yang menjadi tujuan atau target dari aksi politik uang, yaitu kelompok pemilik hak pilih yaitu masyarakat pemilih (voters).

Rekomendasi Pemikiran: Strategi Memutus Rantai Politik Uang

Beberapa solusi alternative dengan pendekatan aktor / pelaku pilkada:

a. Pendekatan Interest Group (Peserta Pilkada/Parpol/Tim Kampanye):
  • Revisi UU Parpol dengan internalisasi sistem integritas Parpol (integritas thd implementasi fungsi Parpol) dan sanksi jika tidak menjalankan sistem integritas;
  • Uji publik calon dan Pakta Integritas;
  • Seleksi calon di Parpol diatur UU dengan sistem terbuka dan harus ada rekomendasi KPK, Kepolisian, Institusi Agama;
  • Legalisasi pendaftaran calon dengan biaya wajar dan seragam;

b. Pendekatan Buffer Group / Faktor Penyangga (Penyelenggara dan Mitra Penyelenggara): 
  • KPU perlu mengefektifkan Pendidikan politik dan sosialisasi yang lebih sistematis dan terfokus;
  • Bawaslu perlu meningkatkan pencegahan serta pengawasannya;
  • Kewajiban penyelenggara untuk melaporkan dan memproses dugaan pelanggaran politik uang;
  • KPK, Polisi dan Ornop dilibatkan dengan adanya regulasi perlindungan saksi dan pelapor (whistle blower);
  • Perbaikan regulasi;
  • Kearifan local dan sanksinya dijamin UU Pemilu/Pilkada;
  • Memperpendek masa kampanye;

c. PendekatanTarget Group (Pemilih): 
  • Perlu dilakukan gerakan Pendidikan politik Anti Politik uang kepada masyarakat oleh penyelenggara. Di setiap desa dan komunitas dibentuk kelompok masyarakat anti politik uang.
  • Insetif bagi desa / kelurahan yang memploklamirkan diri sebagai Desa/kelurahan anti politik uang;

Secara khusus untuk perbaikan regulasi,  perlu diatur: 
  1. Sistem pencalonan bebas mahar. Melarang mahar, tidak cukup ! Harus diatur bagaimana sistem rekrutmen calon yang menutup peluang mahar. Misalnya dengan melegalkan biaya pendaftaran calon yang disetor ke rekening Parpol saat pendaftran terbuka di Partai Politik (bukan unsur memperkaya diri pribadi), dan biaya pendaftaran tersebut dibatasi untuk mengurangi high cost politics. Tim Pendaftaran Parpol dibolehkan menerima honorarium dengan pembatasan.
  2. Memberikan kewenangan kepada KPK, Kepolisian, Kejaksaan, untuk membantu tugas Bawaslu  dalam pengawasan dan penindakan politik uang dengan membentuk “Satgas Anti Politik Uang”.  Satgas  bisa merekrut aparat / relawan ad hoc di setiap desa / kelurahan  yang akan berpatroli mengawasi gerak gerik Tim Kampanye atau setiap orang yang teridentifikasi potensial pelaku politik uang. 
  3. Untuk efisiensi maka masa kampanye diperpendek. Hal ini akan menuntut Parpol menyiapkan calon yang memang telah dikenal masyarakat, bukan nanti dipaksakan elektabilitasnya lewat kampanye yang high cost atau dengan membayar suara pemilih.

Demikian catatan singkat ini, kiranya bermanfaat untuk demokrasi bermartabat, Pilkada tanpa politik uang.

Salam Demokrasi, 
Berani Jujur, Hebat !!!

__________________________________________________
Endnote: 
Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan penulis dalam Deseminasi Hasil Penelitian  “FAKTOR-FAKTOR POLITIK UANG PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE TAHUN 2017” yang dilaksanakan Program Tata Kelola Pemilu UNSRAT Manado dan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, di Manado 27 November 2018;

Penulis, Komisioner KPU Sulawesi Utara (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan);



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.